Pages

Sabtu, 18 April 2009

inilah contoh satu dari sekian banyak kegiatan pemuda yang positif dalam partisipasi menjaga keamanan lingkungan mereka...
begadang slalu diartikan negatif bagi sebagian besar masyarakat...
namun pemuda SO at PAL SMANSASO mencoba membuktikan bahwa anggapan mayoritas masyarakat itu salah......
tapi coba kita tengok sedikit, dengan kehadiran mereka ditengah malam banyak sekali memberikan manfaat bagi lingkungan sekitar, dimana mereka biasa begadang..
1. Memberikan lagu penghantar tidur.
2. Membantu Hansip dalam menjalankan tugasnya menjaga keamanan.
3. Membantu perekonomian masyarakat sekitar dimana biasa mereka NONGKRONG.
4. Meredakan emosi bagi mereka yang sedang dilanda masalah.
5. Yang paling penting, bagi mereka kegiatan ini adalah bentuk dari pengamalan Pancasila dan UUD'45.

itulah sedikit gambaran tentang kehidupan malam anak jalanan PAL SMASASO Cilacap yang sebenarnya perlu kita berikan mereka support positif.
"Keberadaan kami jangan s'lalu dipandang negatif," demikian salah satu anak jalanan memohon kepada masyarakat.
"Tolong lihat segi positifnya dari keberadaan kami disini, dengan adanya kami disini setiap malam berarti secara tidak langsung kami telah berpartisipasi memberikan dukungan bagi bapak Hansip yang bertugas," Jeepy Esmeralda menambahkan pernyataan temannya.
Memang, kita sebagai masyarakat tidak sepantasnya memvonis mereka dengan pandangan-pandangan negatif kepada mereka. Kita merasa terganggu mungkin karena kita menyadari bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi pikiran kita:
1. Mereka selalu berdekatan dengan miras, narkoba, dan hal-hal lain,
2. Aliran musik mereka tidak sesuai dengan musik yang digemari masyarakat yang mayoritas orang tua.
3. Membuat tempat kotor.
4. Tidak sopan, dll.

Hendaknya kita buang jauh-jauh negative thinking kita terhadap kegiatan mereka, toh selama ini mereka tidak membuat masyarakat terganggu, kecuali berisik.

Untuk itu, coba kita saksikan contoh video ini yang sengaja kami tampilkan untuk merubah anggapan masyarakat.

SELAMAT MENYAKSIKAN....!!!!!

Baca Selengkapnya -

Senin, 06 April 2009

SeND!ri Tuk sL4lu MeN3p!

Terkadang terpikir hidup memang tak sepantasnya disalahkan...... walaupun dia seperti duri yg tajam, namun terkadang dia seindah pantai pangandaran yg penuh gemerlap lampu benderang.
Misteri hidup tiada seorangpun yg bisa mengungkapnya... MENEBAK dan selalu menebak....!!! TAKDIR dikambing hitamkan sebagai PAMUNGKAS.....
"Haruskah ku MENYERAH dalam kehidupan ini?" Jeritku dalam hati.
Kusadari ku tlah jauh tertinggal dalam kehidupan ini, sementara mereka tertawa bahagia dalam suka.....
"Akankah masa itu datang merangkul aku yang tlah lama tak kurasakan arti sebuah kata SUKA?"
"Masihkah ada rasa itu dalam jiwa yg tlah sepi ini?"
"Apakah............................?" dan "Apakah.................?" Itu selalu tanya yg selalu tersirat dalam hati dan pikiran ini.
Rindu suka....... canda..... tawa.......
Bosankah hidup ini? Tau kah mereka arti BOSAN? atau merasa bosankah mereka pada hisup yang penuh misteri ini?
Ku bosan dengan semua tipu muslihat bahagia semu ini..............
Ku rindu secercah harapan yang membuatku bangkit dalam keterpurukan ini...!!!!!!!!!!!!
masih adakah kepedulian orang? Pedulikah mereka?
"Haaahh......... muak rasanya .........!!!!" lirihku membisik hatiku sendiri.
"Kemana orang-orang yang slama ini mengaku sahabat?"
"Kemana orang-orang yang slama ini mengaku mau berbagi dalam suka maupun dukA?"
"Kemana mereka.............?????"
Semua orang memang punya sifat munafik!!! Ku ditinggal sendiri dalam kesunyian ini.... tak dianggap....!!! seolah mereka tak pernah mengenalku.
TIPU............................TIPU.............................TIPU...........................
Tak kusangka segitunya arti SAHABAT di jaman ini.......
owwww.......................... LELAH.... ku telah capai.........!!!








Baca Selengkapnya - SeND!ri Tuk sL4lu MeN3p!

Minggu, 05 April 2009

SANGI PEMBURU DARI MAHOROI

Sangi adalah seorang pemburu yang tangguh. Sangi ahli menyumpit buruan. Sumpitnya selalu mengenai sasaran. Setiap kali berburu ia selalu berhasil membawa pula daging babi hutan dan daging rusa.

Sangi bertempat tinggal di daerah aliran Sungai Mahoroi, anak Sungai Kahayan. Pada suatu hari Sangi berburu. Dari pagi hingga petang ia tidak berhasil menemukan seekor binatang buruan pun. Keadaan ini membuatnya sangat kesal. Karena hari telah mulai sore, ia pun pulanglah dengan tangan kosong. Di dalam perjalanan pulang ia melihat bahwa air tepi sungai sangat keruh. Ini pertanda bahwa seekor babi hutan baru saja minum air di sana. Dugaannya itu diperkuat lagi dengan adanya bekas jejak kaki babi hutan.

Dengan penuh harapan Sangi terus mengikuti jejak binatang itu. Benar saja … tidak berapa jauh dari sana, ia menemukan babi hutan yang dicarinya itu, tetapi dalam keadaan yang amat mengerikan. Sebagian dari tubuh babi hutan itu telah berada di dalam mulut seekor ular raksasa (naga). Kelihatannya tidak mungkin ia akan hidup kembali. Pemandangan mengerikan ini sangat menakutkan Sangi. Ia tidak dapat lari sehingga tidak ada cara lain daripada bersembunyi di dalam semak-semak.

Beberapa waktu telah berlalu. Ular raksasa itu tidak dapat juga menelan mangsanya. Dicoba dan dicobanya berkali-kali, namun selalu gagal. Akhirnya sang ular menghentikan usahanya. Dengan murkanya dipalingkanlah kepalanya ke arah tempat Sangi bersembunyi. Secara gaib … ia berganti rupa menjadi seorang pemuda yang tampan wajahnya. Ia menghampiri Sangi dan memegang lengannya.

Pemuda itu menggertak dan memerintahkan kepada Sangi, “Telan babi hutan itu bulat-bulat karena engkau telah mengintip sang ular raksasa yang sedang menelan babi hutan.”

“Saya … tapi saya … tidak …”

“Ayo cepat lakukan ….”

Dengan penuh rasa ketakutan Sangi melaksanakan perintah itu. Ajaib sekali, ternyata Sangi mampu melaksanakan perintah pemuda itu dengan mudah sekali, seolah-olah ia sendiri benar-benar seekor ular.

Pemuda asal ular itu berkata bahwa karena Sangi telah berani mengintainya, sejak itu pula Sangi berubah menjadi seekor ular jadi-jadian.

“Untuk sementara engkau tidak usah risau,” kata pemuda asal ular itu kepada Sangi. “Selama engkau dapat merahasiakan kejadian ini, engkau akan tetap dapat mempertahankan bentuk manusiamu.”

Pemuda asal ular itu lalu menghibur Sangi dengan mengatakan bahwa nasib yang menimpa Sangi sebenarnya tidaklah terlalu jelek. Sebab, sejak kejadian itu ia bukan lagi merupakan makhluk yang dapat mati sehingga ia dapat mempertahankan kemudaannya untuk selama-lamanya.

Demikianlah, Sangi terus berusaha agar rahasianya ini tidak diketahui orang, termasuk anggota kerabatnya sendiri dan anak cucunya. Dengan cara ini ia berhasil mencapai umur 150 tahun. Akan tetapi, keadaan yang luar biasa ini menimbulkan rasa aneh pada keturunannya. Mereka ingin mengetahui rahasia kakeknya yang dapat berusia panjang dan tetap dapat mempertahankan kemudaannya.

Oleh karena itu sejak itu mereka pun mulai menghujani kakek mereka dengan berbagai pertanyaan. Akhirnya karena terus-menerus didesak, Sangi pun terpaksa membuka rahasianya, melanggar larangan berat itu. Sebagai akibatnya, sedikit demi sedikit tubuhnya berganti rupa menjadi seekor ular raksasa. Pergantian ini dimulai dari kakinya. Sadar akan keadaan ini, Sangi menyalahkan keturunannya sebagai penyebab nasib buruk yang sedang menimpanya.

Dalam keadaan geram ia pun mengutuk keturunannya, yang dalam waktu singkat akan mati seluruhnya dalam suatu pertikaian diantara sesamanya.

Sebelum Sangi menceburkan dirinya ke dalam Sungai Kahayan bagian hulu untuk menjadi penjaganya, ia masih sempat mengambil harta pusakanya yang disimpan didalam satu guci Cina besar. Harta pusaka yang berupa kepingan-kepingan emas itu lalu disebarkannya ke dalam air sungai. Sambil melakukan ini ia pun mengucapkan kutukan yang berbunyi:

“Siapa saja yang berani mendulang emas di daerah aliran sungai ini, akan mati tak lama setelah itu, sehingga hasil emas dulangannya akan dipergunakan untuk mengupacarakan kematiannya.”

Begitulah akhir cerita Sangi, pemburu dari Mahoroi.

Baca Selengkapnya - SANGI PEMBURU DARI MAHOROI

LEGENDA BATU MENANGIS

Di bawah ini satu kisah mengenai seorang janda miskin dan akan gadisnya. Mereka bertempat tinggal di sebuah bukit yang jauh dari desa.

Konon ceritanya, anak gadisnya itu amat pemalas. Ia tidak suka membantu ibunya mencari nafkah. Kerjanya setiap hari hanya bersolek, bersolek, dan bersolek saja. Namun, setiap ia meminta sesuatu ibunya harus mengabulkannya.

Pada suatu hari mereka turun ke desa untuk berbelanja. Letak pasar di desa itu amat jauh, sehingga mereka harus berjalan kaki. Ibunya berjalan di belakang sambil membawa keranjang, sedangkan anak gadisnya berlenggang di depan.

Ibunya berpakaian amat sederhana. Sebaliknya, anak gadisnya mewah pakaiannya. Karena mereka hidup terpencil, tidak seorang pun yang mengetahui bahwa sebenarnya mereka itu adalah ibu dan anak.

Ketika mereka hampir memasuki desa, mereka mulai bertemu dengan penduduk yang lain. Diantara orang-orang yang mereka jumpai ada seseorang yang bertanya kepada si gadis, katanya, “Manis, apakah yang di belakangmu itu ibumu?”

“Bukan,” jawab si gadis angkuh. “Ia adalah pembantu saya.”

“Manis, apakah yang berjalan di belakangmu itu ibumu?” Tanya orang kedua yang berjumpa dengannya.

“Bukan, bukan,” jawab si gadis angkuh. “Ia adalah budak saya.”

Begitulah setiap si gadis bertemu dengan penduduk desa di sepanjang jalan, selalu itulah jawabannya. Ibunya diperlakukannya sebagai budaknya.

Pada mulanya mendengar jawaban putrinya yang durhaka itu, si ibu masih dapat menahan diri. Namun setelah berulang kali didengarnya jawaban yang sama dan yang amat menyakitkan hati, akhirnya si ibu tak bisa menahan diri.

Si ibu berdoa kepada Tuhan. “Ya Tuhan, hukumlah anak laknat ini. Ya hukumlah dia ….”

Berkat kekuasaan Tuhan Yang Mahakuasa, perlahan-lahan tubuh gadis yang durhaka itu berubah menjadi batu. Ketika baru setengah badan menjadi batu yang dimulai dari kaki, anak gadis itu menangis memohon ampun kepada ibunya.

“Ibu, Ibu, ampunilah saya, ampunilah kedurhakaan saya selama ini.” Si gadis terus menangis. Akan tetapi, semuanya telah terlambat. Seluruh tubuhnya akhirnya berubah menjadi batu. Sekalipun telah menjadi batu, namun orang dapat melihat bahwa kedua matanya masih menitikkan air mata, seperti sedang menangis. Oleh karena itu, batu yang berasal dari gadis itu diberi nama “Batu Menangis.”

Baca Selengkapnya - LEGENDA BATU MENANGIS

RATU LAUT SELATAN

Cerita yang sangat popular dikalangan penduduk Jawa Tengah pada umumnya, Yogyakarta dan Surakarta pada khususnya adalah tentang Ratu Laut Selatan. Oleh masyarakat luas, ia disebut dengan nama Kanjeng Ratu Kidul. Penduduk membayangkan, di dasar Laut Selatan, yakni samodra di sebelah selatan Pulau Jawa, ada kerajaan paling indah; yang bertahta seorang wanita sangat cantik, Ratu Kidul. Ia senantiasa diceritakan menjalin hubungan dengan raja-raja di Jawa, khususnya Susuhunan Paku Buwono di Surakarta dan Sultan Hamengku Buwono di Yogyakarta. Di keratin Surakarta ada sebuah menara pendek, namanya Panggung Sanggabuwana. Penduduk Surakarta membayangkan, di tempat ini raja di Surakarta mengadakan pertemuan dengan Ratu Laut Selatan.

Sultan Hamengku Buwono, sejak yang pertama hingga sekarang, senantiasa menyelenggarakan labuhan, yakni mengirimkan barang-barang tertentu ke Laut Selatan dan ke Gunung Merapi. Rupanya, memang ada hubungan antara Gunung Merapi dengan Laut Selatan.

Menurut cerita dalam Babad Tanah Jawi, yakni sejarah yang diceritakan secara tradisional, hubungan antara raja-raja di Jawa Tengah dengan Ratu Laut Selatan sudah dimulai semenjak Senapati, pendiri dinasti Mataram. Dikisahkan, Senapati yang semula dikenal dengan nama Ngabehi Loring Pasar, sudah lama bercita-cita menjadi raja yang berdaulat. Selama ini, kekuasaannya terbatas karena masih banyak dibawah pengawasan Sultan di Pajang, suatu tempat yang jaraknya sekitar dua puluh kilometer dari Surakarta ke arah Barat-Utara. Keinginan menjadi raja itu semakin kuat tatkala ia sedang bercengkerama di desa Lipura, dan diatas batu yang indah, ia tertidur. Pamannya, Ki Juru Martani, membangunkannya. Sebab, jika ia memang menginginkan tahta dan mahkota, kurang pantas kalau cara mencapainya lewat bermalas-malasan. Begitu bangun, Senapati melihat cahaya berbentuk bulat bagaikan buah kelapa, turun dari angkasa. Cahaya itu berkata bahwa kelak cita-citanya tercapai. Hanya saja, kebesaran kerajaannya terbatas hingga tahta yang diduduki cicitnya. Sesudah itu, ada mahluk-mahluk bertubuh tinggi, kulitnya putih, rambutnya pirang, suka mencampuri urusan kerajaan.

Ramalan cahaya bulat sebesar kelapa itu membuat Senapati gelisah. Inilah yang mendorongnya memohon kepada Ki Juru Martani, pamannya, untuk naik ke puncak Gunung Merapi, untuk meminta keterangan kepada dua mahluk halus penunggu gunung itu. Sementara itu, Senapati berjalan seorang diri, mengikuti aliran sungai Opak, ke arah Timur. Tatkala tiba di muara sungai, Senapati berjumpa dengan seekor ikan Olor Tunggulwulung, yang kemudian, membawanya ke tepi sungai. Di sini, ia berdoa kepada Allah, memuji kebesaranNya, dan memohon ampun, perlindungan dan pertolonganNya. Tak lama ia duduk di tepian sungai, angin keras meniup, dan air sungai mendidih.

Peristiwa ini mendorong Ratu Laut Selatan muncul dari dasar laut dan melihat apa yang terjadi. Begitu tampak Senapati tengah berdoa, pahamlah Ratu Laut Selatan akan apa yang dicita-citakannya. Ratu mendekatinya, memberikan hormat, dan mengatakan bahwa di masa depan nanti, kerajaan Mataram akan jaya. Kemudian, Ratu memohon Senapati turun ke dasar samodra, menikmati keindahan istananya, dan berkasih-kasihan.

Apa yang terjadi dengan Ki Juru Martani yang diminta naik ke puncak Merapi, tidak diketahui. Tetapi, kemudian, ada berita bahwa mahluk-mahluk halus di gunung itu akan mendukung cita-cita Senapati. Hal ini juga sudah dikemukakan oleh Ratu Laut Selatan kepadanya, dalam perjalanan keluar dari istana menuju daratan. Maka, mulai saat itu, tampak hubungan yang dekat antara Gunung Merapi dan kerajaan Laut Selatan, dan Senapati yang kerajaannya terletak di Kota Gedhe.

Ketika Sultan Hamengku Buwono I bertahta, konon, beliau mempunyai kebiasaan duduk di singgasana, sambil memusatkan perhatian lurus ke puncak Merapi. Melihat letak istana Sultan diantara Laut Selatan dan Gunung Merapi, dapat dibayangkan, didalam diri Sultan, terjadi pertemuan antara kekuatan di sebelah Utara dan Selatan. Hubungan itu membentuk garis lurus, yang jika dipandang dari istana ke arah utara, akan tampak: Jalan Malioboro, puncak Tugu di Jalan Diponegoro, puncak runcing Monumen Yogya Kembali dan berakhir di puncak Merapi.

Akan tetapi, siapakah Ratu Kidul itu? Konon, menurut yang empunya cerita, pada mulanya adalah seorang wanita yang berparas elok, Kadita namanya. Karena kecantikannya, ia sering disebut Dewi Srengenge, yang artinya Matahari Jelita. Kadita adalah putri Raja Munding Wangi. Walaupun Kadita sangat elok wajahnya, Raja tetap berduka karena tidak mempunyai putra mahkota yang dapat disiapkan. Baru setelah Raja memperistrikan Dewi Mutiara, gembiralah hatinya. Sebab, dari Dewi Mutiara lahir seorang anak lelaki. Akan tetapi, begitu mendapat perhatian lebih, Dewi Mutiara mulai mengajukan tuntutan-tuntutan, antara lain, memastikan anaknya lelaki akan menggantikan tahta dan Dewi Kadita harus diusir dari istana. Permintaan pertama diluluskan, tetapi untuk mengusir Kadita, Raja Munding Wangi tidak bersedia.

“Ini keterlaluan,” sabdanya. “Aku tidak bersedia meluluskan permintaanmu yang keji itu,” sambungnya. Mendengar jawaban demikian, Dewi Mutiara malahan tersenyum sangat manis, sehingga kemarahan Raja, perlahan-lahan hilang. Tetapi, dalam hati istri kedua itu membara dendam.

Hari esoknya, pagi-pagi sekali, Mutiara mengutus inang pengasuh memanggil seorang tukang sihir, si Jahil namanya. Kepadanya diperintahkan, agar kepada Dewi Kadita dikirimkan guna-guna.

“Bikin tubuhnya berkudis dan berkurap,” perintahnya. “Kalau berhasil, besar hadiah untuk kamu!” Sambungnya. Si Jahil menyanggupinya. Malam harinya, tatkala Kadita sedang lelap, masuklah angin semilir ke dalam kamarnya. Angina itu berbau busuk, mirip bau bangkai. Tatkala Kadita terbangun, ia menjerit. Seluruh tubuhnya penuh dengan kudis, bernanah, dan sangat berbau tidak enak.

Tatkala Raja Munding Wangi mendengar berita ini pada pagi harinya, sangat sedihlah hatinya. Dalam hati tahu bahwa yang diderita Kadita bukan penyakit biasa, tetapi guna-guna. Raja juga sudah menduga, sangat mungkin Mutiara yang merencanakannya. Hanya saja, bagaimana membuktikannya. Dalam keadaan pening, Raja harus segera memutuskan hendak diapakan Kadita. Atas desakan patih, putrid yang semula sangat cantik itu mesti dibuang jauh agar tidak menjadikan aib.

Maka berangkatlah Kadita seorang diri, bagaikan pengemis yang diusir dari rumah orang kaya. Hatinya remuk redam; air matanya berleleran. Namun ia tetap percaya, bahwa Sang Maha Pencipta tidak akan membiarkan mahluk ciptaanNya dianiaya sesamanya. Campur tanganNya pasti akan tiba. Untuk itu, seperti sudah diajarkan neneknya almarhum, bahwa ia tidak boleh mendendam dan membenci orang yang membencinya.

Siang dan malam ia berjalan, dan sudah tujuh hari tujuh malam waktu yang ditempuhnya, hingga akhirnya ia tiba di pantai Laut Selatan. Kemudian berdiri memandang luasnya lautan, ia bagaikan mendengar suara memanggil agar ia menceburkan diri ke dalam laut. Tatkala ia mengikuti panggilan itu, begitu tersentuh air, tubuhnya putih kembali. Jadilah ia wanita cantik seperti sediakala. Tak hanya itu, ia segera menguasai seluruh lautan dan isinya dan mendirikan kerajaan yang megah, kokoh, indah, dan berwibawa. Dialah kini yang disebut Ratu Laut Selatan.
Baca Selengkapnya - RATU LAUT SELATAN

ASAL USUL GUNUNG MERAPI

Menurut para tetua yang tinggal di lereng Gunung Merapi, nun dikala itu, setelah Pulau Jawa diciptakan oleh para dewa, ternyata letaknya tidak rata, tetapi miring. Oleh karena itu, di kahyangan, istana para dewa, segera diselenggarakan rapat untuk membicarakan masalah itu. Maka, dicapai kesepakatan bahwa, Pulau Jawa akan dapat rata dan tidak miring, jika ditengah-tengahnya diletakkan sebuah gunung yang besar dan tinggi, untuk menjaga keseimbangan. Gunung itu harus didatangkan dari Laut Selatan, yakni Gunung Jamurdipa.Akan tetapi, keputusan rapat itu tidak segera dapat dilaksanakan sebab tempat yang sudah ditentukan itu dua orang empu, ahli membuat keris, tengah mempersiapkan sebilah keris sakti. Mereka itu adalah Empu Pamadi dan Empu Rama. Agar keputusan dewa segera dapat dilaksanakan, mereka diminta pindah ke tempat lain. Untuk itu, Dewa Penyarikan, yakni sekretaris para dewa, dan Dewa Nerada, diutus Batara Guru, raja para dewa, menyampaikan permintaan itu.Setelah tiba di tempat, dua orang dewa itu melihat bahwa dua orang empu tengah menempa sebatang besi yang terdiri dari bermacam-macam logam. Cara menempanya tidak menggunakan palu dan landasan baja, tetapi dengan tangan dan paha. Setiap kali kepalan tangan dipukulkan pada sebatang besi itu, sepercik cahaya memancar. Seketika itu juga, batangan besi yang semula membara segera padam. Besi itu kembali dimasukkan ke dalam perapian. Dan Empu Pamadi segera meniupnya. Api berkobar membakar besi; setelah membara, kembali ditempanya. Bara itu segera padam. Demikian terus-menerus dilakukan oleh kedua orang empu, hingga para dewa terkagum-kagum.
“Maaf, kami utusan Batara Guru, ingin berbicara dengan kalian,” kata Dewa Penyarikan.
Baik Empu Pamadi maupun Empu Rama segera berhenti menempa, memandang mereka, dan memberi hormat. Segera kepada mereka, dua dewa itu menjelaskan tujuannya. Dua empu itu tertegun mendengarnya. Sebenarnya, mereka tidak keberatan pindah ke tempat lain, tetapi, bagaimana dengan penyelesaian keris itu. Itulah sebabnya mereka meminta agar rencana penempatan Gunung Jamurdipa di tempat itu ditangguhkan.
“Keadaan sudah mendesak sekali,” kata Dewa Penyarikan. “Kalian berdua harus segera pindah dari sini. Kami bersedia mencarikan tempat yang jauh lebih baik,” sambungnya.
“Maaf, Pukulun, kami belum dapat memenuhi permintaan itu,” jawab Empu Pamadi. Kemudian, Empu Rama menambahkan penjelasan bahwa membuat keris tidak boleh dilakukan dengan cara sembarangan, misalnya berpindah-pindah tempat.
“Betul, Pukulun,” sambung Empu Pamadi. “Kalau kami berpindah tempat, sementara pekerjaan belum selesai, keris yang kami buat tidak sebagus yang diharapkan. Kami sungguh mohon maaf,” sambungnya.
Karena mengemban perintah Batara Guru, Penyarikan dan Narada terpaksa menggertak mereka bahkan setengah mengancam. Akan tetapi, kedua empu itu tidak merasa takut. Sebab, mereka juga mengemban tugas. Itulah sebabnya, pertengkaran mulut tidak terhindarkan, bahkan dilanjutkan dengan perkelahian. Walaupun empu itu dikeroyok berpuluh-puluh pasukan dewa, mereka dapat mengalahkannya. Dewa-dewa itu ketakutan melihat kesaktian empu-empu itu, lari dan terbang kembali ke kahyangan, memberikan laporan kepada Batara Guru. Tentu saja, Raja para dewa sangat murka mendengar laporan itu. Ia segera memerintahkan Dewa Bayu yang menguasai angin agar meniup Gunung Jamurdipa. Dalam waktu sekejap, gunung di Laut Selatan sudah pindah ke tempat itu, setelah didahului gemuruhnya suara angina yang meniup kencang. Gunung itu jatuh tepat di perapian dan menindihlah dua orang empu itu. Mereka seketika meninggal dunia, dan roh mereka menjadi penunggu gunung itu. Perapiannya berubah menjadi kawah. Karena kawah itu pada mulanya perapian, oleh para dewa, gunung itu diganti namanya menjadi Gunung Merapi.
Beberapa waktu kemudian, kembali Dewa Penyarikan dan Narada diutus oleh Batara Guru untuk memeriksa keadaan gunung yang baru dipindah itu. Oleh mereka tampak seekor naga besar. Kepada naga itu, dewa memerintahkan agar menghadap ke kahyangan. Perintah itu ditaatinya. Tetapi, tatkala akan melaksanakannya, gerak naga itu terhalang air mata yang terus-menerus mengalir dari mata seorang pertapa, Cupumanik namanya. Dewa itu jengkel dibuatnya. Kepadanya, ia meminta agar menghadap Batara Guru untuk menjelaskan apa tujuannya membiarkan wilayah itu tergenang air matanya. Cupumanik memenuhi perintah dewa, saying, datangnya terlambat. Ini membuat Batara Guru murka lagi. Begitu tampak batang hidungnya, Cupumanik segera dipegangnya, diangkat tinggi, dan dihempaskan keras-keras pada Lembu Andini, seekor sapi sakti kendaraan Batara Guru. Tubuh Cupumanik hancur, tetapi tanduk sebelah kiri Andini juga patah. Dari tubuh yang remuk itu, muncul perawan berparas elok, Dewi Luhwati namanya.
Menatap wajah Luhwati, Batara Guru jatuh hati dan memintanya menjadi istrinya. Luhwati menerima permintaan itu. Akan tetapi, setelah tinggal beberapa bulan di kahyangan, ia mulai bosan. Seorang bidadari yang juga elok parasnya, Dewi Sri Kembang, yang tinggal di istana dewa, sudah mencoba menghiburnya. Namun, tetap saja Luhwati tidak merasakan kebahagiaan. Mengetahui niat Luhwati ingin pergi, Batara Guru tersinggung. Bagaimana mungkin ia tidak bahagia menjadi istri Raja para dewa? Batara Guru bertanya sambil menakuti dengan Trisula, tombak berujung tiga.
Tanpa menjawab, Luhwati segera menubrukkan dirinya pada ujung senjata itu. Sri Kembang yang menyaksikannya menjerit. Batara Guru pun menyesal. Tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Luhwati mati karena dadanya tertusuk senjata sangat ampuh. Dengan sedih, Batara Guru segera memerintahkan Dewa Bayu agar meniup jenasah Luhwati ke bumi. Melayang-layang di angkasa, menyusup awan-awan, akhirnya jenasah terjatuh di kerajaan Medang Kamulyan. Begitu menyentuh bumi, tubuh Luhwati segera meleleh dan menjadikan tanah gersang menjadi subur. Pohon-pohon bertumbuhan, semak-semak bermunculan, juga tanaman padi tampak di sawah-sawah. Sri Kembang yang melihat sahabatnya diterbangkan angina dan jatuh di bumi, memohon izin untuk melihat apa yang terjadi. Begitu izin diberikan, ia pun berangkat. Tetapi, di tengah jalan, ia dihadang Kala, dewa yang wajahnya seperti raksasa, tubuhnya tinggi, besar, dan penuh bulu.
Sri Kembang menjerit melihat Batara Kala, tetapi ia tidak ingin kembali. Maka larilah ia diantara semak-belukar, menyusup hutan dan mendaki bukit. Tatkala tiba di wilayah sawah-sawah, ia mendengar suara wanita memanggilnya. Sri Kembang mengenal sekali suara itu adalah suara Luhwati, yang ternyata sudah bersatu dengan bumi. Sementara Sri Kembang tengah berpikir apa yang akan dilakukan, Kala sudah hampir menjangkaunya. “Kamu tergolong dewa, tetapi tidak punya tata krama. Perilakumu tak lebih dari seekor babi hutan,” kata Sri. Seketika itu juga, Kala berubah menjadi babi hutan. Sri Kembang yang merasa lega karena terlepas dari bahaya, segera mengucapkan pujian kepada Sang Hyang Tunggal, penguasa seluruh alam semesta yang tampak dan tidak tampak. Kemudian, ia menyatukan diri dengan bumi, bersama-sama Luhwati, menjadi pelindung tanaman padi.
Baca Selengkapnya - ASAL USUL GUNUNG MERAPI

ASAL USUL NAMA YOGYAKARTA

Nama Yogyakarta berasal dari kata Ayodya, nama sebuah kerajaan terkenal dalam jagad wayang dalam serial epos Ramayana. Ayodya adalah kerajaan tempat Sri Rama dilahirkan. Mengapa nama itu dipilih? Berikut ini ceritanya.
Sebelum di Yogyakarta dan Surakarta didirikan kerajaan, wilayah itu menjadi satu dan disebut Mataram dengan ibukota Kartasura, yang jaraknya kurang-lebih sepuluh kilometer disebelah barat Surakarta (yang sekarang terkenal dengan sebutan kota Solo). Di kerajaan ini, bertahta Susuhunan Paku Buwono II. Pada tahun 1740, di Batavia yang sekarang disebut Jakarta, terjadi pemberontakan, yang merembet ke Kartasura, sehingga kerajaan itu, pada tahun 1742 jatuh. Raja beserta pasukan dan semua nara praja melarikan diri kea rah timur, yakni ke suatu tempat, yang kemudian dinamakan Surakarta. Pemerintah penjajahan Belanda atau kompeni ikut membantu memulihkan wibawa raja di tempat yang baru. Namun, keadaan belum juga tenang. Sebab, Raden Mas Said, kemenakan raja, memberontak. Kemudian raja membuat semacam sayembara, yakni: siapapun yang dapat memadamkan pemberontakan itu akan dihadiahi tanah yang luas sekali di daerah Sokowati. Tertarik dengan hadiah itu, Pangeran Mangkubumi, adik raja menyanggupkan diri untuk menenteramkan keadaan. Akan tetapi, Patih Pringgoloyo tidak setuju.
“Kalau Pangeran Mangkubumi mendapatkan hadiah tanah yang begitu luas, ia akan terlalu kuat. Itu berbahaya!” Kata pada saat itu sembari menghaturkan sembah. Sementara masalah itu belum dapat diselesaikan, datanglah Gubernur Jenderal Van Imhoff menagih janji kepada Susuhunan, yakni tanah di pantai utara, sebagai pembayaran atas jasanya membantu memadamkan pemberontakan di Kartasura dan menenteramkan keadaan.
“Hamba setuju. Hamba setuju. Bapak Gubernur Jenderal pan Imop harus diberi hadiah tanah itu. Dan wilayah Sokowati jangan diberikan kepada Pangeran Mangkubumi. Jangan. Pokoknya jangan. Dibatalkan saja janji itu!” Kata Patih Pringgoloyo dengan suara melengking-lengking. Tentu saja, Pangeran Mangkubumi sangat marah mendengar kata-kata yang diucapkan Pringgoloyo. Susuhunan Paku Buwono II, sebenarnya, maklum akan amarah Mangkubumi. Tetapi, Gubernur Jenderal van Imhoff menegur Pangeran Mangkubumi agar dapat menahan diri.
“Kamu harus bersikap sopan Mangkubumi,” kata van Imhoff. Dapat dibayangkan malu Pangeran Mangkubumi. Di rumah sendiri, di kerajaan sendiri, di tanah air sendiri, dikata-katai seperti itu. Karena tidak dapat menahan amarahnya, Mangkubumi segera memberikan sembah kepada Susuhunan Paku Buwono II, dan mohon diri. Ia bergabung dengan Raden Mas Said, orang yang seharusnya tumpas, untuk melawan Belanda yang amat sangat kurang ajar itu.
Pemberontakan yang dipimpin dua bangsawan tangguh semakin hari semakin meluas. Pada tahun 1750, dibawah pimpinan Raen Mas Said, yang juga dikenal dengan Pangeran Samber Nyawa, pasukan pemberontak menyerbu Surakarta. Lagi, kompeni Belanda diminta bantuan untuk mengusirnya. Berhasil memang, tetapi ratusan tentara Belanda terbunuh; beberapa luka parah. Bahkan dua tahun kemudian, 1752, pemberontakan semakin merajalela. Pangeran Mangkubumi berhasil membujuk rakyat dari Madura sampai Banten untuk menolak semua perintah Belanda.
Sementara itu, Paku Buwono II sudah digantikan oleh Paku Buwono III dan van Imhoff sudah diganti von Hohendorff. Dua tahun kemudian, Gubernur Jenderal ini diganti oleh Nicolaas Hartingh. Ia segera menghubungi Mangkubumi dan melalui seorang ulama berdarah Turki, bernama Syeh Ibrahim alias Sarip Besar, menawarkan perdamaian. Tawaran diterima dengan syarat, Mataram dibagi dua. Pembagian kerajaan ini dikenal dengan nama Perjanjian Gianti, yang dilaksanakan pada tanggal 15 Februari 1755.
Bagaimana dengan Raden Mas Said yang berjuang bersama-sama dengan Mangkubumi? Kelihaian Belanda adalah memecah belah, mengadu domba, dan kemudian menguasainya. Sebelum Hohendorff diganti Hartingh sudah menghubungi Raden Mas Said dan menawarkan kedudukan sebagai putra mahkota; tetapi ditolaknya. Cara-cara Hohendorff melakukan kontak dibuat sedemikian rupa, sehingga Mangkubumi mencurigai Raden Mas Said. Oleh karena itu, keduanya pecah: mereka berjuang sendiri-sendiri.
Tatkala Perjanjian Gianti ditandatangani, Susuhunan Paku Buwono III menyerahkan keris pusaka bernama Kyai Kopek, yang semula milik Sunan Kali Jaga, kepada Mangkubumi. Pada saat itulah, Mangkubumi resmi menjadi raja dan bergelar Sultan Hamengku Buwono I. Maka, sekarang tibalah waktunya untuk mencari tempat dimana istana akan didirikan. Sementara usaha sedang berlangsung, Sultan berkenan bertempat tinggal di Ambar Ketawang,. Tidak terlalu jauh dari Art Gallery milik pelukis terkemuka, Drs. H. Amri Yahya.
Beberapa punggawa kerajaan diutus untuk mencari tempat yang tepat. Tentu saja, ini bukan pekerjaan yang mudah. Sebab, walaupun pada waktu itu ilmu pengetahuan membangun rumah belum maju seperti sekarang, pengetahuan tradisional sudah cukup sebagai bekal. Namun, karena kegigihan para punggawa, akhirnya tempat itu ditemukan, yaitu hutan Garjitawati, tidak jauh dari desa Beringan. Sultan pun menyetujuinya. Lalu, akan diberi nama apa kerajaan baru itu?
Alkisah, tatkala masih memimpin perang, oleh para prajurit dan punggawanya yang dekat, Pangeran Mangkubumi senantiasa dipandang mereka dengan penuh kekaguman. Apalagi, tatkala Mangkubumi berhasil menghimpun rakyat dari pantai utara untuk melawan Belanda. Ini bukan pekerjaan yang mudah. Kemampuan beliau menghimpun rakyat, dipandang para punggawa dan prajurit, bagaikan Sri Rama yang mengerahkan pasukan kera melawan bala tentara raksasa dari kerajaan Alengka. Oleh karena itu, Mangkubumi dijuluki seorang ahli perang. Namun, Mangkubumi juga dikenal sebagai seorang yang gemar bertapa dan bersemedi. Tujuannya, untuk merenungkan semua peristiwa dan mempertimbangkan tindakan yang tepat sebelum melakukannya. Menurut beberapa punggawa, selepas bersamadi, wajah Mangkubumi tampak bersinar; bahkan, dari kedua matanya memancarkan cahaya yang menyorot. Siapa pun yang dipandangnya bagai disentuh hatinya. Tidaklah mengherankan jika punggawa membayangkan bahwa Mangkubumi adalah jelmaan Dewa Wisnu.
Dalam wayang, Dewa Wisnu menjelma menjadi Krishna yang berkerajaan di Dwarawati. Ia menjadi penasihat keluarga Pandawa yang memenangkan pertempuran besar, Bharatayudha. Bagi para punggawa, sebelum Dewa Wisnu menjelma menjadi Krishna, terlebih dahulu menjelma menjadi Sri Rama yang berkerajaan di Ayodya. Karena Mangkubumi yang sudah bergelar Sultan Hamengku Buwono I dipandang sebagai jelmaan Dewa Wisnu dalam ujud Sri Rama, pantaslah jika kerajaannya disebut Ayodya. Demikianlah, maka kerajaan itu disebut Ayodya, yang kemudian disingkat menjadi Yodya.
Setiap penamaan, terkadang bukan hanya memberi tanda kepada sesuatu atau seseorang, tetapi juga terkandung harapan. Apalagi, kerajaan itu dibangun dengan kekuatan senjata, pertaruhan jiwa dan raga. Harapan para punggawa, setelah kerajaan Yodya dibangun, seterusnya aman dan tenteram, damai dan sejahtera. Itulah sebabnya, nama Yodya ditambah dengan karta, yang mengandung arti serba baik. Demikianlah, kerajaan itu, kemudian, disebut Yodyakarta. Dalam perkembangan selanjutnya, mungkin karena ucapan, nama itu menjadi Yogyakarta hingga sekarang. Di sebelah utara istana Yogyakarta ada sebuah pasar yang kini dibangun bagus sekali, disebut Beringharja, yang semula desa Beringan, yang letaknya disebelah utara hutan Garjitawati.
Baca Selengkapnya - ASAL USUL NAMA YOGYAKARTA