Pages

Minggu, 05 April 2009

RATU LAUT SELATAN

Cerita yang sangat popular dikalangan penduduk Jawa Tengah pada umumnya, Yogyakarta dan Surakarta pada khususnya adalah tentang Ratu Laut Selatan. Oleh masyarakat luas, ia disebut dengan nama Kanjeng Ratu Kidul. Penduduk membayangkan, di dasar Laut Selatan, yakni samodra di sebelah selatan Pulau Jawa, ada kerajaan paling indah; yang bertahta seorang wanita sangat cantik, Ratu Kidul. Ia senantiasa diceritakan menjalin hubungan dengan raja-raja di Jawa, khususnya Susuhunan Paku Buwono di Surakarta dan Sultan Hamengku Buwono di Yogyakarta. Di keratin Surakarta ada sebuah menara pendek, namanya Panggung Sanggabuwana. Penduduk Surakarta membayangkan, di tempat ini raja di Surakarta mengadakan pertemuan dengan Ratu Laut Selatan.

Sultan Hamengku Buwono, sejak yang pertama hingga sekarang, senantiasa menyelenggarakan labuhan, yakni mengirimkan barang-barang tertentu ke Laut Selatan dan ke Gunung Merapi. Rupanya, memang ada hubungan antara Gunung Merapi dengan Laut Selatan.

Menurut cerita dalam Babad Tanah Jawi, yakni sejarah yang diceritakan secara tradisional, hubungan antara raja-raja di Jawa Tengah dengan Ratu Laut Selatan sudah dimulai semenjak Senapati, pendiri dinasti Mataram. Dikisahkan, Senapati yang semula dikenal dengan nama Ngabehi Loring Pasar, sudah lama bercita-cita menjadi raja yang berdaulat. Selama ini, kekuasaannya terbatas karena masih banyak dibawah pengawasan Sultan di Pajang, suatu tempat yang jaraknya sekitar dua puluh kilometer dari Surakarta ke arah Barat-Utara. Keinginan menjadi raja itu semakin kuat tatkala ia sedang bercengkerama di desa Lipura, dan diatas batu yang indah, ia tertidur. Pamannya, Ki Juru Martani, membangunkannya. Sebab, jika ia memang menginginkan tahta dan mahkota, kurang pantas kalau cara mencapainya lewat bermalas-malasan. Begitu bangun, Senapati melihat cahaya berbentuk bulat bagaikan buah kelapa, turun dari angkasa. Cahaya itu berkata bahwa kelak cita-citanya tercapai. Hanya saja, kebesaran kerajaannya terbatas hingga tahta yang diduduki cicitnya. Sesudah itu, ada mahluk-mahluk bertubuh tinggi, kulitnya putih, rambutnya pirang, suka mencampuri urusan kerajaan.

Ramalan cahaya bulat sebesar kelapa itu membuat Senapati gelisah. Inilah yang mendorongnya memohon kepada Ki Juru Martani, pamannya, untuk naik ke puncak Gunung Merapi, untuk meminta keterangan kepada dua mahluk halus penunggu gunung itu. Sementara itu, Senapati berjalan seorang diri, mengikuti aliran sungai Opak, ke arah Timur. Tatkala tiba di muara sungai, Senapati berjumpa dengan seekor ikan Olor Tunggulwulung, yang kemudian, membawanya ke tepi sungai. Di sini, ia berdoa kepada Allah, memuji kebesaranNya, dan memohon ampun, perlindungan dan pertolonganNya. Tak lama ia duduk di tepian sungai, angin keras meniup, dan air sungai mendidih.

Peristiwa ini mendorong Ratu Laut Selatan muncul dari dasar laut dan melihat apa yang terjadi. Begitu tampak Senapati tengah berdoa, pahamlah Ratu Laut Selatan akan apa yang dicita-citakannya. Ratu mendekatinya, memberikan hormat, dan mengatakan bahwa di masa depan nanti, kerajaan Mataram akan jaya. Kemudian, Ratu memohon Senapati turun ke dasar samodra, menikmati keindahan istananya, dan berkasih-kasihan.

Apa yang terjadi dengan Ki Juru Martani yang diminta naik ke puncak Merapi, tidak diketahui. Tetapi, kemudian, ada berita bahwa mahluk-mahluk halus di gunung itu akan mendukung cita-cita Senapati. Hal ini juga sudah dikemukakan oleh Ratu Laut Selatan kepadanya, dalam perjalanan keluar dari istana menuju daratan. Maka, mulai saat itu, tampak hubungan yang dekat antara Gunung Merapi dan kerajaan Laut Selatan, dan Senapati yang kerajaannya terletak di Kota Gedhe.

Ketika Sultan Hamengku Buwono I bertahta, konon, beliau mempunyai kebiasaan duduk di singgasana, sambil memusatkan perhatian lurus ke puncak Merapi. Melihat letak istana Sultan diantara Laut Selatan dan Gunung Merapi, dapat dibayangkan, didalam diri Sultan, terjadi pertemuan antara kekuatan di sebelah Utara dan Selatan. Hubungan itu membentuk garis lurus, yang jika dipandang dari istana ke arah utara, akan tampak: Jalan Malioboro, puncak Tugu di Jalan Diponegoro, puncak runcing Monumen Yogya Kembali dan berakhir di puncak Merapi.

Akan tetapi, siapakah Ratu Kidul itu? Konon, menurut yang empunya cerita, pada mulanya adalah seorang wanita yang berparas elok, Kadita namanya. Karena kecantikannya, ia sering disebut Dewi Srengenge, yang artinya Matahari Jelita. Kadita adalah putri Raja Munding Wangi. Walaupun Kadita sangat elok wajahnya, Raja tetap berduka karena tidak mempunyai putra mahkota yang dapat disiapkan. Baru setelah Raja memperistrikan Dewi Mutiara, gembiralah hatinya. Sebab, dari Dewi Mutiara lahir seorang anak lelaki. Akan tetapi, begitu mendapat perhatian lebih, Dewi Mutiara mulai mengajukan tuntutan-tuntutan, antara lain, memastikan anaknya lelaki akan menggantikan tahta dan Dewi Kadita harus diusir dari istana. Permintaan pertama diluluskan, tetapi untuk mengusir Kadita, Raja Munding Wangi tidak bersedia.

“Ini keterlaluan,” sabdanya. “Aku tidak bersedia meluluskan permintaanmu yang keji itu,” sambungnya. Mendengar jawaban demikian, Dewi Mutiara malahan tersenyum sangat manis, sehingga kemarahan Raja, perlahan-lahan hilang. Tetapi, dalam hati istri kedua itu membara dendam.

Hari esoknya, pagi-pagi sekali, Mutiara mengutus inang pengasuh memanggil seorang tukang sihir, si Jahil namanya. Kepadanya diperintahkan, agar kepada Dewi Kadita dikirimkan guna-guna.

“Bikin tubuhnya berkudis dan berkurap,” perintahnya. “Kalau berhasil, besar hadiah untuk kamu!” Sambungnya. Si Jahil menyanggupinya. Malam harinya, tatkala Kadita sedang lelap, masuklah angin semilir ke dalam kamarnya. Angina itu berbau busuk, mirip bau bangkai. Tatkala Kadita terbangun, ia menjerit. Seluruh tubuhnya penuh dengan kudis, bernanah, dan sangat berbau tidak enak.

Tatkala Raja Munding Wangi mendengar berita ini pada pagi harinya, sangat sedihlah hatinya. Dalam hati tahu bahwa yang diderita Kadita bukan penyakit biasa, tetapi guna-guna. Raja juga sudah menduga, sangat mungkin Mutiara yang merencanakannya. Hanya saja, bagaimana membuktikannya. Dalam keadaan pening, Raja harus segera memutuskan hendak diapakan Kadita. Atas desakan patih, putrid yang semula sangat cantik itu mesti dibuang jauh agar tidak menjadikan aib.

Maka berangkatlah Kadita seorang diri, bagaikan pengemis yang diusir dari rumah orang kaya. Hatinya remuk redam; air matanya berleleran. Namun ia tetap percaya, bahwa Sang Maha Pencipta tidak akan membiarkan mahluk ciptaanNya dianiaya sesamanya. Campur tanganNya pasti akan tiba. Untuk itu, seperti sudah diajarkan neneknya almarhum, bahwa ia tidak boleh mendendam dan membenci orang yang membencinya.

Siang dan malam ia berjalan, dan sudah tujuh hari tujuh malam waktu yang ditempuhnya, hingga akhirnya ia tiba di pantai Laut Selatan. Kemudian berdiri memandang luasnya lautan, ia bagaikan mendengar suara memanggil agar ia menceburkan diri ke dalam laut. Tatkala ia mengikuti panggilan itu, begitu tersentuh air, tubuhnya putih kembali. Jadilah ia wanita cantik seperti sediakala. Tak hanya itu, ia segera menguasai seluruh lautan dan isinya dan mendirikan kerajaan yang megah, kokoh, indah, dan berwibawa. Dialah kini yang disebut Ratu Laut Selatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar