Pages

Minggu, 05 April 2009

ASAL USUL GUNUNG MERAPI

Menurut para tetua yang tinggal di lereng Gunung Merapi, nun dikala itu, setelah Pulau Jawa diciptakan oleh para dewa, ternyata letaknya tidak rata, tetapi miring. Oleh karena itu, di kahyangan, istana para dewa, segera diselenggarakan rapat untuk membicarakan masalah itu. Maka, dicapai kesepakatan bahwa, Pulau Jawa akan dapat rata dan tidak miring, jika ditengah-tengahnya diletakkan sebuah gunung yang besar dan tinggi, untuk menjaga keseimbangan. Gunung itu harus didatangkan dari Laut Selatan, yakni Gunung Jamurdipa.Akan tetapi, keputusan rapat itu tidak segera dapat dilaksanakan sebab tempat yang sudah ditentukan itu dua orang empu, ahli membuat keris, tengah mempersiapkan sebilah keris sakti. Mereka itu adalah Empu Pamadi dan Empu Rama. Agar keputusan dewa segera dapat dilaksanakan, mereka diminta pindah ke tempat lain. Untuk itu, Dewa Penyarikan, yakni sekretaris para dewa, dan Dewa Nerada, diutus Batara Guru, raja para dewa, menyampaikan permintaan itu.Setelah tiba di tempat, dua orang dewa itu melihat bahwa dua orang empu tengah menempa sebatang besi yang terdiri dari bermacam-macam logam. Cara menempanya tidak menggunakan palu dan landasan baja, tetapi dengan tangan dan paha. Setiap kali kepalan tangan dipukulkan pada sebatang besi itu, sepercik cahaya memancar. Seketika itu juga, batangan besi yang semula membara segera padam. Besi itu kembali dimasukkan ke dalam perapian. Dan Empu Pamadi segera meniupnya. Api berkobar membakar besi; setelah membara, kembali ditempanya. Bara itu segera padam. Demikian terus-menerus dilakukan oleh kedua orang empu, hingga para dewa terkagum-kagum.
“Maaf, kami utusan Batara Guru, ingin berbicara dengan kalian,” kata Dewa Penyarikan.
Baik Empu Pamadi maupun Empu Rama segera berhenti menempa, memandang mereka, dan memberi hormat. Segera kepada mereka, dua dewa itu menjelaskan tujuannya. Dua empu itu tertegun mendengarnya. Sebenarnya, mereka tidak keberatan pindah ke tempat lain, tetapi, bagaimana dengan penyelesaian keris itu. Itulah sebabnya mereka meminta agar rencana penempatan Gunung Jamurdipa di tempat itu ditangguhkan.
“Keadaan sudah mendesak sekali,” kata Dewa Penyarikan. “Kalian berdua harus segera pindah dari sini. Kami bersedia mencarikan tempat yang jauh lebih baik,” sambungnya.
“Maaf, Pukulun, kami belum dapat memenuhi permintaan itu,” jawab Empu Pamadi. Kemudian, Empu Rama menambahkan penjelasan bahwa membuat keris tidak boleh dilakukan dengan cara sembarangan, misalnya berpindah-pindah tempat.
“Betul, Pukulun,” sambung Empu Pamadi. “Kalau kami berpindah tempat, sementara pekerjaan belum selesai, keris yang kami buat tidak sebagus yang diharapkan. Kami sungguh mohon maaf,” sambungnya.
Karena mengemban perintah Batara Guru, Penyarikan dan Narada terpaksa menggertak mereka bahkan setengah mengancam. Akan tetapi, kedua empu itu tidak merasa takut. Sebab, mereka juga mengemban tugas. Itulah sebabnya, pertengkaran mulut tidak terhindarkan, bahkan dilanjutkan dengan perkelahian. Walaupun empu itu dikeroyok berpuluh-puluh pasukan dewa, mereka dapat mengalahkannya. Dewa-dewa itu ketakutan melihat kesaktian empu-empu itu, lari dan terbang kembali ke kahyangan, memberikan laporan kepada Batara Guru. Tentu saja, Raja para dewa sangat murka mendengar laporan itu. Ia segera memerintahkan Dewa Bayu yang menguasai angin agar meniup Gunung Jamurdipa. Dalam waktu sekejap, gunung di Laut Selatan sudah pindah ke tempat itu, setelah didahului gemuruhnya suara angina yang meniup kencang. Gunung itu jatuh tepat di perapian dan menindihlah dua orang empu itu. Mereka seketika meninggal dunia, dan roh mereka menjadi penunggu gunung itu. Perapiannya berubah menjadi kawah. Karena kawah itu pada mulanya perapian, oleh para dewa, gunung itu diganti namanya menjadi Gunung Merapi.
Beberapa waktu kemudian, kembali Dewa Penyarikan dan Narada diutus oleh Batara Guru untuk memeriksa keadaan gunung yang baru dipindah itu. Oleh mereka tampak seekor naga besar. Kepada naga itu, dewa memerintahkan agar menghadap ke kahyangan. Perintah itu ditaatinya. Tetapi, tatkala akan melaksanakannya, gerak naga itu terhalang air mata yang terus-menerus mengalir dari mata seorang pertapa, Cupumanik namanya. Dewa itu jengkel dibuatnya. Kepadanya, ia meminta agar menghadap Batara Guru untuk menjelaskan apa tujuannya membiarkan wilayah itu tergenang air matanya. Cupumanik memenuhi perintah dewa, saying, datangnya terlambat. Ini membuat Batara Guru murka lagi. Begitu tampak batang hidungnya, Cupumanik segera dipegangnya, diangkat tinggi, dan dihempaskan keras-keras pada Lembu Andini, seekor sapi sakti kendaraan Batara Guru. Tubuh Cupumanik hancur, tetapi tanduk sebelah kiri Andini juga patah. Dari tubuh yang remuk itu, muncul perawan berparas elok, Dewi Luhwati namanya.
Menatap wajah Luhwati, Batara Guru jatuh hati dan memintanya menjadi istrinya. Luhwati menerima permintaan itu. Akan tetapi, setelah tinggal beberapa bulan di kahyangan, ia mulai bosan. Seorang bidadari yang juga elok parasnya, Dewi Sri Kembang, yang tinggal di istana dewa, sudah mencoba menghiburnya. Namun, tetap saja Luhwati tidak merasakan kebahagiaan. Mengetahui niat Luhwati ingin pergi, Batara Guru tersinggung. Bagaimana mungkin ia tidak bahagia menjadi istri Raja para dewa? Batara Guru bertanya sambil menakuti dengan Trisula, tombak berujung tiga.
Tanpa menjawab, Luhwati segera menubrukkan dirinya pada ujung senjata itu. Sri Kembang yang menyaksikannya menjerit. Batara Guru pun menyesal. Tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Luhwati mati karena dadanya tertusuk senjata sangat ampuh. Dengan sedih, Batara Guru segera memerintahkan Dewa Bayu agar meniup jenasah Luhwati ke bumi. Melayang-layang di angkasa, menyusup awan-awan, akhirnya jenasah terjatuh di kerajaan Medang Kamulyan. Begitu menyentuh bumi, tubuh Luhwati segera meleleh dan menjadikan tanah gersang menjadi subur. Pohon-pohon bertumbuhan, semak-semak bermunculan, juga tanaman padi tampak di sawah-sawah. Sri Kembang yang melihat sahabatnya diterbangkan angina dan jatuh di bumi, memohon izin untuk melihat apa yang terjadi. Begitu izin diberikan, ia pun berangkat. Tetapi, di tengah jalan, ia dihadang Kala, dewa yang wajahnya seperti raksasa, tubuhnya tinggi, besar, dan penuh bulu.
Sri Kembang menjerit melihat Batara Kala, tetapi ia tidak ingin kembali. Maka larilah ia diantara semak-belukar, menyusup hutan dan mendaki bukit. Tatkala tiba di wilayah sawah-sawah, ia mendengar suara wanita memanggilnya. Sri Kembang mengenal sekali suara itu adalah suara Luhwati, yang ternyata sudah bersatu dengan bumi. Sementara Sri Kembang tengah berpikir apa yang akan dilakukan, Kala sudah hampir menjangkaunya. “Kamu tergolong dewa, tetapi tidak punya tata krama. Perilakumu tak lebih dari seekor babi hutan,” kata Sri. Seketika itu juga, Kala berubah menjadi babi hutan. Sri Kembang yang merasa lega karena terlepas dari bahaya, segera mengucapkan pujian kepada Sang Hyang Tunggal, penguasa seluruh alam semesta yang tampak dan tidak tampak. Kemudian, ia menyatukan diri dengan bumi, bersama-sama Luhwati, menjadi pelindung tanaman padi.

6 komentar: